Rabu, 16 Desember 2009

“Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan Menuju Pendidikan Kritis dan Implementasinya dalam Era Global

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan, memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Jika kita berbicara mengenai masalah pendidikan, kita biasanya cenderung berfikir tentang dua dimensi praktis pedagogik, yaitu dimensi teknis (bagaimana caranya) dan dimensi normatif (bagaimana seharusnya) (Surakhmad,1977:7). Yang pertama menyangkut berbagai startegi, proses serta tindakan untuk mengembangkan dan memfungsikan pendidikan dalam masyarakat secara optimal dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara nasional. Selanjutnya, yang kedua meliputi berbagai kebijakan yang berusaha untuk merumuskan nilai-nilai kependidikan sebagai landasan dalam mewujudkan cita-cita bersama. Cita-cita tersebut baik dalam sekala mikro (keluarga/masyarakat), maupun dalam sekala makro (kehidupan berbangsa) (Widja,2009:1).
Setiap negara atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa tersebut. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis, dan politis, yang bertujuan untuk membentuk ciri khusus suatu bangsa yang bersangkutan ( membentuk kepribadian nasional). Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pembangunan pendidikan nasional yang berdasarkan atas Panca¬sila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, mem¬pertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air serta menumbuhkan manusia pembangunan. Selanjutnya nilai-nilai Pancasila itulah yang memberi corak khas bagi pendidikan nasional kita.
Berdasarkan tujuan tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan nilai-nilai kepribadian bangsa. Pendidikan bukan hanya memiliki tujuan akhir ntuk mencerdaskan kemampuan itelektual semata. Tetapi dalam hal pendidikan sebagai proses pembudayaan adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang memiliki kepribadian yang kuat, khususnya kepribadian Pancasila. Makalah ini akan mencoba membahas mengenai pendidikan sebagai dasar kebudayaan dalam arah pendidikan kritis, untuk menghadapi tantangan dalam era global.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
a. Apakah arti pendidikan sebagai proses pembudayaan?
b. Bagaimanakah hubungan kausalitas pendidikan dengan kebudayaan?
c. Bagaimanakah pendidikan yang berideologi Pancasila?
d. Apakah yang dimaksud pendidikan kritis?
e. Bagaimanakah implementasi pendidikan kritis dalam era globalisasi?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas perseorangan dari mata kuliah pengantar pendidikan. Selain itu, penulisan makalah ini juga untuk menginformasikan kepada pembaca mengenai hubungan pendidikan dengan kebudayaan, dimana hubungan kedua hal ini akan mengacu pada suatu arah pendidikan kritis. Dan juga, pembaca akan mengetahui bagaimanakah pendidikan yang berideologi Pancasila. Serta hubungan implementasi pendidikan kritis dalam era globalisasi.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan
Pendidikan dipandang sebagai komunikasi eksistensi manusia yang otentik kepada manusia muda, agar menjadi miliknya, untuk dilanjutkan dan disempurnakan. Dyarkara dalam bukunya “Tentang Pendidikan”, menjelaskan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan bukanlah menghilangkan harkat dan martabat sebagai manusia, melainkan menumbuhkan dan mempertinggi mutu dan hakikat serta martabat manusia. Pendidikan bersifat mempengaruhi hal-hal (potensi) yang kurang baik ke arah yang lebih baik (Suyasa,2005:16). Pendidikan besar peranannya dalam pembentukan, dan perkembangan suatu kebudayaan. Dalam rumusan-rumusan hakikat kebudayaan misalnya dari Taylor, Koentjaningrat, maupun Ki Hajar Dewantara tampak dengan jelas betapa pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Dalam buku pegangan (hand out) materi pengantar pendidikan, disebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya untuk dijadikan miliknya serta disempurnakan melalui proses sosialisasi.
Proses pendidikan sebagai dari segi budaya hakikatnya sama saja dengan menempatkan posisi pendidikan sebagai bagian dari jaraingan praktik kehidupan sosial budaya yang kompleks dalam suatu masyarakat. Hal ini tidak lain berati bahwa proses pendidikan tidak hanya harus dibatasi pada praktik-praktik pembelajaran di lembaga yang bernama sekolah (schooling). Lebih dari itu, proses pendidikan menyangkut berbagai kehidupan yang secara umum sering disebut sebagai proses kebudayaan. dari pembahsan para antropolog, secara rasional bahwa hakikat pendidikan tidak bisa lepas dari hakikat manusia sebagai mahluk berfikir yang mampu hidup dan berkembang melalui proses belajar (learning process) (Widja,2009:6). Melalui proses ini, yang kita sebut proses belajar atau secara lebih luas proses pendidikan, manusia mampu mengembangkan berbagai potensi atau daya cipta, karsa, dan karya yang menjadi inti poses budaya. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan apabila budaya dalam konsep esensial pendidikan dirumuskan oleh John Singleton sebagai “the shared product of human learning” (Spindler,1974:26).
2.2 Hubungan Kausalitas Pendidikan dan Kebudayaan
Hubungan kausalitas antara pendidikan dengan kebudayaan adalah hubungan proses dengan isi dari pendidikan dengan kebudayaan tersebut. Misalnya, hubungan antara pendidikan dan kurikulumnya. Dalam kenyataan kebudayaan, yang dikomunikasikan dalam proses pendidikan khususnya di sekolah, dalam rangka mencapai tujuan adalah berupa kurikulum. Karena itu, pendidikan tanpa kurikulum tidak ada proses pendidikan yang terarah. Kurikulum merupakan bagian yang amat penting dalam proses pendidikan. Dengan demikian, tujuan akan tercapai apabila isinya tepatjadi, isi pendidikan ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai (Suyasa,2005:26).
Hubungan pendidikan dan kebudayaan adalah hubungan antara aktivitas dengan isinya. Pendidikan adalah suatu proses, satu lembaga, dan satu aktivitas. Sedangkan kebudayaan adalah satu sisi di dalam proses tersebut, atau isi suatu lembaga dan aktivitas pendidikan itu sendiri. Karena itu, pendidikan sebagai lembaga sering disebut Transmission of culture ( penyampaian nilai-nilai budaya). Maka dari itu, disamping sebagai proses pengoperan kebudayaan, pendidikan juga sebagai peciptaan kebudayaan. Jadi, dalam hubungannya dengan kebudayaan, pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pengembangan bangsa dan negara yang berkualitas atau maju (Suyasa,2005:25).
Fungsi lain adalah mengolah kebudayaan itu menjadi sikap menaati tingkah laku, bahkan menjadi kepribadian anak didik. Hubungan pendidikan dan kebudayaan juga dalam hal hubungan tujuan. Dengan pendidikan, manusia berkebudayaan dan dengan pendidikan itu pula manusia menuju ke tingkat pengembangan kepribadian yang produktif dalam meciptakan kebudayaan. jika pendidikan telah maju, maka secara otomatis, kebudayaan di negara tersebut telah maju. Begitu pula sebaliknya, jika kebudayaan suatu negara tersebut tinggi, maka kualitas pendidikan negara tersebut tinggi pula. Maju mundurnya kebudayaan suatu bangsa tergantung maju mundurnya pendidikan bangsa tersebut. Karena itulah pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pengembangan bangsa dan negara yang berkualitas atau maju.
2.4 Pendidikan yang Berideologi Pancasila
Nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sejak jaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan Negara. Nilai –nilai tersebut meliputi nilai adat istiadat, kebudayaan, serta nilai religius. Nilai tersebut telah ada serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, serta materi pancasila yang berupa nilai-nilai terebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, berdasarkan fakta objektif historis, kehidupan bangsa Indonesia tidaka dapat terpisahkan dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila dengan kedudukannya sebagai dasar filsfat negara serta ideologi bangsa, nilai–nilainya senantiasa melekat dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Jika kita berbicara mengenai idiologi Pancasila, kita akan menuju pada filsafat dasar pendidikan di Indonesia. Dimana filsafat pendidikan tersebut tidak lain berarti pandangan dasar yang dalam pelaksaan pendidikan suatu negara. Dimana dalam filsafat negara, maka akan sekaligus menjadi filsafat dalam menjalankan pendidikan bangsanya. Dalam filsafat Pendidikan Pancasila, kita akan menemukan arti bahwa dalam menjalankan suatu proses pendidikan melalui suatu pembudayaan, kita menggunakan idiologi tersebut sebagai dasar dalam kita melaksanakan suatu pendidikan. Nilai-nilai yang telah terkandung dalam pancasila tersebut, yang merupakan nilai dari kehidupan bangsa Indonesia harus terelisasikan dalam proses pendidikan. Seperti yang telah kita kethui bahwa Pendidikan berdasarkan Pancasila mengacu pada lima prinsip dasar bangsa Indonesia. Maka dari itu, filsafat pendidikan Indonesia tidak akan terlepas dari filsafat bangsa dan negara, karena itu merupakan fondasi dalam menjalankan suatu pendidikan nasional.
2.3 Pendidikan Kritis
Pendidikan kritis ini merupakan suatu paradigma baru dalam strategi politik pendidikan nasional yang lebih mengkondisikan adanya dimensi sosial kultural tersebut. Suatu model alternatif bagi pilihan tersebut adalah apa yang sering disebut model pendidikan kritis transformatif (Tilaar,2002:2003). Bila diperhatikan esensi serta fokus model pendidikan kritis ini kemunculannya tidak terlepas dari fenomena kesenjangan sosial dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai bangsa, terutama dinegara-negara dunia ketiga untuk memperbaiki situasi dan kondisi tersebut, tetapi dalam kenyataan praktik ketidakadilan/ ketidakmerataan dalam berbagai manifestasi sulit dilenyapkan. Apalagi dalam konteks proses globalisasi yang sedang berkembang yang didorong oleh kekuatan-kekuatan tersembunyi di balik liberalisasi ekonomi , gejala ini akan makin menampilkan diri (Widja:2009,40).
Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil. Konsep yang coba untuk dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir berkebangsaan Brazil adalah “proses pendidikan Sosial”. Dalam hal ini, sistem pendidikan menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek. Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar dijadikan sebagai materi pembelajaran. Proses ini mengantarkan terwujudnya dialektika dan kesadaran kritis dari tiap individu.
Paulo Freire, pedagogik kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses penyadaran (konsientisasi). Yaitu upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik bahkan agama serta merekonstruksi untuk menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem.
Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk mencapainya.
Paradigma pendidikan kritis adalah:
a. Manusia sebagai mahkluk berkesadaran, sadar akan kebebasannya, sadar akan keterbatasannya.
b. Manusia sebagai mahkluk multi talent.
c. Manusia bagian dari dunianya, tumbuh bersama dengan dunianya (perubahan dunia bergantung pada anak, perubahan anak bergantung pada dunianya)
Visi dari pendidikan kritis adalah pendidikan sebagai gerakan perubahan menuju kebudayaan demokratis; menghormati hak azasi dan hak anak pada khususnya. Kemampuan dan keberanian menentukan pilihan dalam menghadapi setiap kenyataan Perubahan diri (individual) dan perubahan lingkungan social. Pemahaman dunia, alam semesta dan seisinya sumber pengetahuan yang tak pernah selesai.
Mereka yang akan melanjutkan tongkat kehidupan dan yang akan memelihara seperangkat hidup dengan segala problematikanya. Diharapkan generasi penerus mampu bertahan dengan cerdas dan menjadi pemenang dalam menghadapi zaman mereka (http://www.penulislepas.com/v2/?p=644).
2.4 Implikasi Pendidikan Kritis dalam Era Global
Pendidikan merupakan suatu proses upaya pewarisan nilai-nilai yang sering disebut proses transformasi yang menyangkup segala aspek Melihat uraian singkat tentang konsep pendidikan kritis maka kita dapat men model pendidikan masa depan yang lebih “produktif”. Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis, tidak kerdil, dan reaktif terhadap perubahan yang terus-menerus. Membangun pendidikan kritis adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan. Dengan kata lain, jika dipahami dari konsep tersebut, maka sudah seharusnya pendidikan di Indonesia dapat berperan sebagai problem solver. Artinya, dibekali dengan berbagai disiplin keilmuan yang mumpuni yang dapat dijadikan “modal” untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang muncul dan berkembang di masyarakat. Selain itu, dengan kepribadian yang tertanam dalam dirinya peserta didik akan selalu melakukan pembaharuan dan inovasi secara dinamis di masyarakat. Alhasil, perjalanan dalam kehidupan masyarakat akan terus mengalami perkembangan-perkembangan (yang positif) tanpa meninggalkan jiwa kekritisan yang telah dibentuk melalui proses pendidikan.
Pengambilan model pendidikan kritis ini sebagai alternatif baru adalah suatu hal yang penting, terutama dalam perkembangan arus globalisasi yang pesat ini. Arus globalisasi ini juga ikut mengintervensi dunia pendidikan. Hal ini bukan saja dilihat sekedar sebagai tantangan yang perlu direspon/diadaptasi, tetapi lebih dari itu, ini merupakan ancaman yang memerlukan paradigma berfikir yang lebih siap untuk menanggulangi berbagai dampak eksploitatifnya bagi mempertahankan harkat kemanusiaan bangsa kita (Widja:2009,53).
Inti semangat pendidikan kritis ini adalah mengandung dasar perjuangan membentuk manusia otonom (mandiri) dan mempunyai daya kretif yang tinggi sehingga sanggup membentuk dirinya sendiri dan lingkungannya. Prasyarat ini diperlukan karena seperti diketahui, ketidakberdayaan itu bersifat struktural yang senantiasa diperkokoh dengan berbagai cara/strategi ideologis budaya. Semangat pendidikan ini akan dibangun melalui proses “penyadaran diri” (conscientizacao) dengan landasan kesadaran kritis (Widja:2009,58). Jiwa seperti yang tergambarkan diatas hanya mungkin diwujudkan bila didukung oleh pendekatan baru dalam praktik pembelajaran sehari-hari melalui proses penyampaian nilai-nilai budaya dalam membentuk kepribadian.
Mengantisipasi arus informasi global dengan pendidikan berkarakter dan keterampilan yang profesional. Pendidikan berkarakter akan menciptakan sosok manusia yang mempunyai kekuatan ideologi yang kuat, tangguh, dan komitmen tinggi. Dengan pendidikan karakter, maka Indonesia yang berideologi Pancasila akan tetap berperan dalam menghadapi globalisasi yang menghendaki penyeragaman dari Barat. Pancasila akan tetap menjadi falsafah berbangsa dan bernegara yang tak tergantikan oleh paham bernama globalisme. Selain itu, tuntutan besar yang harus direalisasikan adalah terciptanya pribadi yang cakap, terampil, dan profesional. Siswa tidak hanya digugah potensinya, namun juga diberi pengarahan dalam mengembangkannya di masa depan, sehingga setelah sekolah mereka akan menjadi manusia unggul yang mengantarkan Republik Indonesia sebagai negara impian.




BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, mengenai “Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan Menuju Pendidikan Kritis dan Implementasinya dalam Era Global” dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses memanusiakan manusia muda. Pendidikan bukanlah menghilangkan harkat dan martabat sebagai manusia, melainkan menumbuhkan dan mempertinggi mutu dan hakikat serta martabat manusia. Pendidikan bersifat mempengaruhi hal-hal (potensi) yang kurang baik ke arah yang lebih baik. pendidikan merupakan proses pembudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya untuk dijadikan miliknya serta disempurnakan melalui proses sosialisasi. Hal ini tidak lain berati bahwa proses pendidikan tidak hanya harus dibatasi pada praktik-praktik pembelajaran di lembaga yang bernama sekolah (schooling). Lebih dari itu, proses pendidikan menyangkut berbagai kehidupan yang secara umum sering disebut sebagai proses kebudayaan. Hubungan kausalitas antara pendidikan dengan kebudayaan adalah hubungan proses dengan isi dari pendidikan dengan kebudayaan tersebut. Pendidikan kritis ini merupakan suatu paradigma baru dalam strategi politik pendidikan nasional yang lebih mengkondisikan adanya dimensi sosial kultural. Pendidikan kritis bisa diterapkan dalam bentuk pendidikan apa pun, baik formal maupun nonformal. Sebuah pendidikan seyogyanya mendidik peserta didiknya untuk menjadi kritis terhadap situasi hidup yang dihadapinya. Sikap kritis inilah yang akan membuat seseorang bisa menentukan sikap yang tepat untuk menghadapai zaman. Bila seseorang kritis, maka dia tanggap terhadap keadaan di sekitarnya. Dia mampu untuk survive dan juga mampu berbagi untuk lingkungannya. Sikap kritis inilah yang kita harapkan dari generasi penerus kita. Pengambilan model pendidikan kritis ini sebagai alternatif baru adalah suatu hal yang penting, terutama dalam perkembangan arus globalisasi yang pesat ini. Arus globalisasi ini juga ikut mengintervensi dunia pendidikan. Hal ini bukan saja dilihat sekedar sebagai tantangan yang perlu direspon/diadaptasi, tetapi lebih dari itu, ini merupakan ancaman yang memerlukan paradigma berfikir yang lebih siap untuk menanggulangi berbagai dampak eksploitatifnya bagi mempertahankan harkat kemanusiaan bangsa kita.
3.2 Saran
Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai “Pendidikan sebagai Proses Pembudayaan Menuju Pendidikan Kritis dan Implementasinya dalam Era Global”. Berdasarkan pembahasan diatas, dapat saya sarankan beberapa hal, yaitu dalam pendidikan, kita jangan hanya berkutat pada proses pendidikan formal semata. Pendidikan dapat pula terjadi di luar lingkungan formal. Dalam pendidikan, kita hendaknya mengacu pada proses penanaman nilai-nilai yang akan menciptakan suatu generasi yang berkepribadian kuat dalam menghadapi era global. Pendidikan di Indonesia hendaknya tidak melepaskan diri dari kebudayaan, karena keduanya memiliki hubungan tujuan dan hubungan kausalitas yang sangat erta. Serta pendidikan di Indonesia hendaknya bisa menerapkan konsep pendidikan kritis demi terciptanya pemertaan kesempatan pendidikan dan terciptanya generasi yang kritis dalam menghadapi hal-hal dalam kehidupannya.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Sebagai penulis, saya mengetahui bahwa tidak ada sesuatupun yang sempurna di dunia ini. Begitu pula halnya dengan karya tulis ini. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan demi tersempurnanya makalah ini.










DAFTAR PUSTAKA

Kaelan,2004.Pendidikan Pancasila.Yogyakarta :Paradigma Yogyakarta
Suyasa,Wayan.2005.Hand Out (Buku Pegangan):Filasafat/Pengantar Pendidikan.Singaraja:IKIP Negeri Singaraja
Tilaar,H.A.R.2002.Perubahan Sosial dan Pendidikan:Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia.Jakarta:Grasindo
Widja,I Gede.2009.Pendidikan Sebagai Ideologi Budaya.Denpasar:Program Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana
http://ms-my.facebook.com/note.php?note_id=46146561956
http://thohir3.blogspot.com/2008/04/paradigma-pendidikan-kritis.html
http://www.penulislepas.com/v2/?p=644
http://www.sanurbsd-tng.org/sanur/index.php?option=com_content&task=view&id=48

Tidak ada komentar: